Pendidikan saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi.
Dunia pendidikan
sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan
sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi,
daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem
pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan
keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan
menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Pada dua tahun
terakhir, PLH di Kalimantan Timur sangatlah berjalan perlahan ditengah hiruk
pikuk penghabisan kekayaan alam Kaltim. Inisiatif-inisiatif baru bermunculan.
Kota Balikpapan memulai, dengan dibantu oleh Program Kerjasama Internasional,
lahirlah kurikulum pendidikan kebersihan dan lingkungan yang menjadi salah satu
muatan lokal. Diikuti kemudian oleh Kabupaten Nunukan. Sementara saat ini
sedang dalam proses adalah Kota Samarinda, Kabupaten Malinau dan Kota Tarakan.
Kesemua wilayah ini terdorong ke arah ?jurang? hadirnya muatan lokal beraroma
pendidikan lingkungan hidup.
Tak ada yang salah
dengan muatan lokal. Namun sangat disayangkan dalam proses-proses yang
dilakukan sangat meninggalkan prinsip-prinsip dari Pendidikan Lingkungan Hidup
itu sendiri. Nuansa hasil yang berwujud (buku, modul, kurikulum), sangat terasa
dalam setiap aktivitas pembuatannya. Perangkat-perangkat pendukung masih sangat
jauh mengikutinya.
Pendidikan Lingkungan
Hidup hari ini, bisa jadi mengulang pada kejadian beberapa tahun yang lalu,
ketika PKLH mulai diluncurkan. Statis, monolitik, membunuh kreatifitas.
Prasyarat yang belum mencukupi yang kemudian dipaksakan, berakhir pada frustasi
berkelanjutan.
Sangat penting
dipahami, bahwa pola Cara Belajar Siswa Aktif, Kurikulum Berbasis Kompetensi,
dan berbagai teknologi pendidikan lainnya yang dikembangkan, kesemuanya
bermuara pada kapasitas seorang guru. Kemampuan berekspresi dan berkreasi
sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Bila
tidak, lupakanlah.
Demikian pula dengan
PLH, sangat dibutuhkan kapasitas guru yang mampu membangitkan kesadaran kritis.
Bukan sekedar untuk memicu kreatifitas siswa. Kesadaran kritis inilah yang
akhirnya akan tereliminasi disaat PLH diperangkap dalam kurikulum muatan lokal.
Siswa akan kembali berada dalam ruang statis, mengejar nilai semu, dan
memperoleh pembebanan baru.
0 komentar:
Posting Komentar