1 2 3 4 5 2 3 4 5 6 7 8 Studi Kasus: Faktor Kunci Penerapan Produksi Bersih | AriWibowoSaputra Blog

Selasa, 02 Juli 2013

Studi Kasus: Faktor Kunci Penerapan Produksi Bersih



01. PENDAHULUAN
Lingkungan telah menjadi bagian yang sangat penting dari bisnis. Berkenaan dengan pernyataan tersebut, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu green consumerism dan lingkungan sebagai non-tariff barrier. Green consumerism membuat produk-produk harus berorientasi lingkungan dan harus dibuat dengan proses yang ramah lingkungan. Dilain pihak, banyak negara, terutama masyarakat eropa, telah mulai memasukkan faktor lingkungan ke dalam perdagangan. Lingkungan telah dijadikan sebagi non-tariff barrier. Artinya untuk memasuki pasar dengan kedua karakteristik di atas diperlukan kaji-ulang atas kinerja lingkungan yang telah kita lakukan selama ini. Apakah sudah sama dengan persepsi para green consumer ataukah sudah memenuhi persyaratan non-tariff di atas.

Permasalahannya adalah bahwa sebagian dari kita masih menganggap pengelolaan lingkungan sebagai beban biaya. Contoh paling nyata adalah pengelolaan limbah yang telah membebani perusahaan. Mengelola lingkungan dengan fokus pengolahan limbah atau end-of-pipe ini sudah selayaknya ditinggalkan. Kita perlu menggeser paradigma pengelolaan lingkungan ke arah pencegahan atau up-the-pipe. Salah satu pendekatan up-the-pipe yang mulai banyak diterapkan adalah Cleaner Production.

Cleaner Production telah mulai diterapkan di banyak negara. Pendekatan ini ternyata mampu memberikan banyak keuntungan dibandingkan dengan pendekatan pengelolaan lingkungan yang lain. Pembeda dengan program lingkungan yang lain adalah kemampuan Cleaner Production untuk memberikan berbagai penghematan, bahkan dapat berfungsi sebagai 'revenue generator'.

Penerapan Cleaner Production, walaupun dapat dilakukan melalui cara-cara yang amat sederhana, namun pada kondisi tertentu kadang-kadang memerlukan perubahan yang radikal. Untuk memujudkan program Cleaner Production yang efektif, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Uraian di bawah akan membahas faktor-faktor yang menjadi kunci dalam penerapan Cleaner Production.


02. PERSPEKTIF TENTANG LIMBAH
Pemecahan permasalahan seringkali bergantung pada bagaimana cara kita memandang permasalahan tersebut. Hal ini juga berlaku bagi permasalahan limbah. Ada banyak perpektif tentang limbah, apakah itu perspektif pelaku industri, ahli lingkungan, masyarakat, atau pemerintah. Alangkah baiknya bila kita mengenali berbagai perspektif yang timbul berkenaan dengan limbah tersebut. Pada gilirannya, perspektif tentang limbah tersebut akan menimbulkan sebuah reaksi. Sehingga lahirlah berbagai alat (tools) atau pendekatan untuk mengelola limbah, didasarkan atas persepsi tentang limbah tersebut.

Setidaknya ada delapan perspektif tentang limbah yang dapat diidentifikasi, yaitu :
  1. Limbah sebagai limbah. Limbah kadang dipandang sebagai limbah itu sendiri, dan dianggap sebagai sesuatu yang 'tidak terpakai' lagi. Reaksi yang muncul atas persepsi ini adalah pendekatan end-of-pipe, yaitu mengelola limbah setelah limbah tersebut timbul. Perlakuan yang dilakukan terhadap limbah adalah membuangnya atau mengolahnya. Pendekatan ini telah memberikan beban biaya bagi perusahaan.
  2. Limbah sebagai suatu kerusakan (defect). Limbah dipandang sebagai kerusakan dalam proses produksi. Untuk memperbaikinya diperluaslah konsep zero defects dalam Total Quality Management (TQM). Dalam konsep ini limbah, yang dianggap sebagai suatu kerusakan dan ketidakefisienan, dicegah sebelum timbul. Konsep pencegahan pencemaran (pollution prevention) adalah reaksi yang paling dekat dengan persepsi limbah sebagai defect ini. Eliminasi material beracun dan sulit dikelola, menggunakan proses yang tepat, dan mengeliminasi proses yang tidak perlu adalah dasar dari pendekatan pencegahan pencemaran.
    Alat-alat TQM seperti pareto chart, cause-effect diagrams, dan continuous improvement diterapkan untuk memecahkan permasalahan limbah, sehingga muncullah sebuah pendekatan baru, yaitu Total Quality Environmental Management.
  3. Limbah sebagai issue kesehatan masyarakat. Limbah dan bahan kimia dipandang divonis sebagai sesuatu yang membahayakan kesehatan masyarkat dan lingkungan. Pendekatan yang dilakukan untuk mengatasinya adalah pengurangan resiko penggunaan bahan beracun serta mengeliminasi pencemar yang bersifat persisten dan bioakumulatif. Pendekatan yang muncul adalah Precautionary Principles.
  4. Limbah sebagai biaya tak terakuntansi. Limbah dianggap sebagai biaya tersembunyi (hidden cost) dalam overhead perusahaan. Untuk mengatasinya, dikembangkanlah pendekatan untuk mengeksplisitkan seluruh biaya yang timbul dalam bisnis. Alat yang muncul adalah Total Cost Accounting.
  5. Limbah sebagai kesalahan perancangan (design). Perspektif ini cukup proaktif, karena memandang bahwa kehadiran limbah seharusnya sudah terdeteksi sejak tahap desain. Baik limbah itu timbul dari material, proses produksi, pemakaian, maupun pembuangan. Diintegrasikanlah desain dengan lingkungan, yang memunculkan sebuah pendekatan baru, yaitu Design for Environment (DfE). Dalam penerapnnya, Design for Environment ini banyak menggunakan pendekatan analisis daur hidup (life cycle analysis).
  6. Limbah sebagai kesalahan manajemen. Pandangan ini menganggap perlunya limbah diintegrasikan ke dalam proses bisnis. Pandangan ini diterima sangat luas di dunia. Munculah ISO 14001 (Environmental Management System) yang berlaku di seluruh dunia dan EMAS (Eco-Management and Auditing Scheme) yang berlaku di Eropa.
  7. Limbah sebagai produk yang tidak terwujudkan. Industri dianggap sebagai bagian dari ekosistem industri. Seperti suatu ekosistem yang umumnuya membentuk suatu loop, maka pendekatan yang dilakukan adalah menutup loop. Penutupan dilakukan dengan daur ulang, daur pakai, dan penggunaan limbah energi. Pendekatn yang menyertai persepsi ini adalah industrial ecology, yang mengkaji aliran material dan energi dalam aktivitas industri dan konsumen serta mengkaji dampaknya terhadap seluruh aspek lingkungan.
  8. Limbah sebagai issue moral. Sebagai issue moral, limbah dikaitkan dengan keberlanjutan tersedianya sumberdaya untuk generasi mendatang. Pemeliharaan dan perbaikan kualitas lingkungan adalah salah satu sasarannya. Pendekatan moral ini cukup diterima oleh kalangan bisnis sebagai 'operational value'. Pendekatan yang muncul adalah Sustainable Development.
03. TANGGAPAN PERUSAHAAN UNTUK MENGELOLA LINGKUNGAN
Tanggapan perusahaan terhadap upaya untuk mengelola lingkungan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu reaktif dan proaktif. Beberapa ahli mengaitkan respon tersebut atas dengan tingkat-tingkat dampak aktivitas perusahaan terhadap lingkungan, yaitu:
  1. Menimbulkan dampak negatif
  2. Mengeliminasi dampak negatif
  3. Memberikan dampak positif.
3.1 RESPONS REAKTIF
Respons reaktif umumnya bertujuan untuk memecahkan suatu masalah lingkungan yang telah timbul. Selain itu, pada tahap reaktif, tujuan perusahaan adalah memenuhi regulasi yang berlaku (regulation compliance). Berkaitan dengan tingkat dampak lingkungan, respons ini berada pada tingkat penimbul dampak negatif atau mendekati eliminasi dampak.

Tentunya kita masih ingat akan Bencana Bhopal di India, yang telah menewaskan sekitar 2.500 orang dan membuat sekitar 200.000 orang menderita sakit. Bencana ini terjadi karena kebocoran salah satu tangki gas Methyl Isocyanate (MIC) yang dimiliki oleh perusahaan kimia Union Carbide. Setelah kejadian tersebut, Union Carbide segera bereaksi untuk memperbaiki sistem pengelolaan lingkungannya. Mereka menyewa sebuah perusahaan konsultan untuk merancang suatu sistem lingkungan yang baru. Dewan direktur kemudian memformalkan sebuah jabatan baru, yaitu vice president untuk bidang lingkungan hidup .

Hasil analisis menunjukkan bahwa sistem pengelolaan lingkungan di Union Carbide ternyata sangat rumit dan sukar dijalankan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya adalah menyederhanakan sistem audit lingkungan. Manual audit lingkungan yang semula tebalnya 35 cm diringkas menjadi 1,25 cm saja. Manual baru ini lebih membumi dan setiap orang diperusahaan dapat dengan mudah menggunakannya untuk mengaudit kinerjanya. Union Carbide juga secara agresif mengaudit fasilitasnya di seluruh dunia. Fasilitas yang tidak mampu memenuhi persyaratan lingkungan dijual atau ditutup. Sistem pengelolaan lingkungan yang baru tersebut merupakan salah satu yang terbaik pada saat itu. Tidak puas dengan membenahi sistem internalnya, Union Carbide juga ikut meratifikasi beberapa inisiatif lingkungan seperti Responsible Care dan masuk ke dalam kelompok GEMI (global environmental management initaitive). Ratifikasi ini bertujuan untuk menunjukkan komitmen Union Carbide untuk terus memperbaiki diri, sekaligus untuk memperbaiki citra persusahaan.

Apakah berbagai upaya itu cukup? Ternyata tidak. Survei yang dilakukan untuk mengetahui posisi Union Carbide, selama kurun waktu 1980 - 1990 menunjukkan kecenderungan sebagai berikut:
  • Tingkat rasa suka terhadap Union Carbide terus
  • Tingkat rasa tidak suka meningkat
  • Pendapat bahwa industri adalah suatu hal yang penting menurun
  • Anggapan bahwa industri kurang diregulasi meningkat
  • Tragedi Bhopal sangat berpengaruh terhadap kinerja bisnis Union Carbide. Sebelum bencana, Union Carbide adalah perusahaan dengan penjualan sebesar US$ 12,5 milyar, sepuluh tahun kemudian, Penjualannya hanya US$ 5 milyar.
Tragedi Bhopal telah menjadi pelajaran berharga bagi industri di seluruh dunia. Namun Union Carbide adalah pengambil pelajaran terbesar darinya. Permasalahan lingkungan yang memakan korban akan sangat membekas di ingatan seseorang. Tindakan reaktif setelah terjadinya bencana akan sangat menurunkan citra perusahaan.

Kasus Union Carbide di atas adalah salah satu tanggapan yang bersifat reaktif. Tanggapan secara reaktif terjadi bila tindakan yang dilakukan dipicu oleh faktor eksternal yang dilakukan karena keadaan memaksa. Faktor ini bisa berbentuk regulasi pemerintah, standar internasional, tuntutan masyarakat, atau bahkan bencana.

Namun sikap reaktif ini pada dasarnya bukanlah suatu hal yang buruk. Porter dan Van der Linde menyatakan bahwa dalam banyak hal, regulasi lingkungan ternyata memiliki implikasi positif terhadap inovasi, produktivitas penggunaan sumber daya, dan daya saing industri. Dibayangi oleh regulasi lingkungan untuk menurunkan solvent sampai 90%, 3M berinovasi untuk menghindari penggunaan solvent dan menggantinya dengan produk berbasis air. Hal yang sama dilakukan oleh Hitachi. Regulasi Jepang yang mengharuskan kemudahan produk untuk didaur ulang telah membuat Hitachi untuk mendesain ulang produknya. Hitachi mengurangi jumlah komponen rakitan sebesar 16% pada produk mesin cuci dan 30% pada produk vacuum cleaner-nya. Berkurangnya komponen membuat produk menjadi lebih mudah untuk di-disassembly, sehingga komponennya lebih mudah untuk didaur ulang. Namun hal terbaik dari desain ulang tersebut adalah berkurangnya waktu dan tingkat kesulitan perakitan. Hal ini membuat pekerjaan menjadi lebih efisien.

ARCO, barangkali bisa menjadi salah satu contoh yang paling baik tentang bagaimana caranya mengubah kendala regulasi lingkungan menjadi peluang bisnis. ARCO yang berbasis di California mampu menyaisati regulasi lingkungan sehingga berhasil memimpin pasar di wilayah tersebut.

Pada saat itu, amandemen terhadap undang-undang pencemaran udara (Clean Air Act) di Amerika Serikat hendak diluncurkan. Amandemen ini salah satunya mengatur tingkat emisi pencemar udara kendaraan bermotor. ARCO memanfaatkan amandemen ini dengan mengubah produknya untuk memenuhi undang-undang tersebut. Diluncurkanlah EC-1, bensin tanpa timbal dengan kadar Sulfur hanya seperlima dari bensin konvensional, Benzene 50% lebih rendah, Olefin dan Aromatik 70% lebih rendah, dan tekanan uap lebih rendah. Formula baru ini mampu menurunkan emisi kendaraan bermotor. Dipromosikan sebagai produk ramah lingkungan, disertai dengan undang-undang pencemaran udara yang ketat, segera saja produk ini menjadi populer di California dan mampu memimpin pasar. Beberapa lama kemudian ARCO memperbaiki produknya dan mengganti EC-1 dengan EC-Premium yang lebih ramah lingkungan. EC-premium memiliki kadar benzene hanya 27 % dari bensin konvensional, dan mampu menurunkan emisi Hidro Karbon sampai 28%, Karbonmonoksida sampai 21 %, dan emisi karena penguapan sampai 36%. Seperti pendahulunya, EC-premium juga segera menjadi populer.

Tidak puas dengan kinerjanya, ARCO mengembangkan EC-X yang lebih ramah lingkungan. Melalui sebuah presentasi ke pemerintah, ARCO menunjukkan kelebihan-kelebihan EC-X dalam menurunkan tingkat pencemaran udara. Presentasi ini membuahkan hasil bagi ARCO. Mulai tahun 1996 produk ini akan dijadikan standar. Bensin yang dijual di seluruh negara bagian minimal harus setara dengan EC-X.

Di California, setiap pompa bensin milik ARCO rata-rata mampu menjual sebanyak 225.000 galon perbulannya. Angka ini 3 kali lipat dari rata-rata penjualan bensin di wilayah tersebut. Dengan produk ramah lingkungan, ARCO mampu menjadi pemimpin pasar. Terbukti bahwa upaya reaktif juga merupakan hal yang baik. Pertanyaannya, apakah itu cukup? Tampaknya akan sangat sulit bagi industri untuk terus berubah sejalan dengan perubahan regulasi yang semakin ketat dan menjangkau dimensi yang semakin luas.

Berkaitan dengan kasus di atas, ada hal yang harus membuat ARCO berpikir keras. Sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, bensin memiliki pesaing cukup berat, yaitu metanol dan listrik. Kedua pesaing ini merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources). Keduanya memiliki kinerja lingkungan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan bensin. Permasalahan utama pada saat ini adalah belum mampunya kedua pesaing itu untuk menyamai tingkat ekonomis dan kemudahan operasi bensin. Namun bagaimana bila ternyata pasar menuntut produk dengan label 'renewable resources'. Atau bagaimana bila secara ekonomi dan kemudahan operasi kedua pesaing tersebut telah menyamai atau bahkan lebih baik dari bensin? Akan sangat sulit bagi ARCO untuk terus bertahan.

Contoh yang cukup menarik adalah kasus Lockheed pada Tahun 1987 . Berdasarkan TRI (Toxics Realese Inventory) emissions, dari 25 perusahaan di kelompoknya, Lockheed adalah pencemar nomor dua terbesar. Melihat hasil ini mereka segera bereaksi dengan melakukan banyak perubahan untuk memperbaiki kinerja lingkungannya. Tiga tahun kemudian, pada Tahun 1990, Lockheed telah berhasil menurunkan pencemarnya sampai 64% dari tingkat emisinya pada Tahun 1987. Sebuah hasil yang cukup baik. Namun, ketika TRI pada Tahun 1990 itu diumumkan, ternyata prestasi Lockheed memburuk. Mereka turun satu peringkat dan berhasil menjadi pencemar paling besar di kelompoknya. Ternyata pesaing berkinerja lebih baik.

3.2 RESPONS PROAKTIF
Tahap kedua dari respons perusahaan terhadap lingkungan adalah proaktif. Pada tahap ini, dikaitkan dengan lingkungan, perusahaan telah menempatkan lingkungan dalam salah satu prioritas bisnisnya. Umumnya perusahaan pada tahap ini digerakkan oleh inisiatif mereka sendiri, yang dipandu oleh visi lingkungan yang mereka miliki. Respons ini digerakkan oleh nilai (value driven).

Tahap awal dari sikap proaktif terhadap lingkungan adalah assurance dari seluruh kegiatannya yang berkaitan dengan lingkungan. Perusahaan akan terus berupaya untuk mengidentifikasi dan memitigasi sumber-sumber resiko lingkungan yang mempengaruhi liabilitas finansial, asalkan biaya identifikasi dan mitigasi resiko itu tidak lebih besar dari biaya tanggung jawab atas resiko tersebut. Tahap berikut dari sikap proaktif ini adalah mengintegrasikan lingkungan ke dalam bisnis. Perusahaan akan berusahan meningkatkan efisiensi dengan meminimalkan limbah. Pendekatan yang cukup banyak dilakukan adalah Cleaner Production. Dikaitkan dengan dampak lingkungan, respons pada tahap ini akan berada di sekitar mitigasi dampak dan kadang cenderung memberikan dampak positif terhadap lingkungan.

DOW Chemical memiliki visi lingkungan yang cukup baik, mereka telah berpikir dalam jangka menengah. Pada Tahun 1996, DOW meluncurkan program untuk memperbaiki kinerja lingkungan dan keselamatan nya di seluruh fasilitasnya di dunia. Program ini memiliki rentang waktu 10 tahun. Program ini diperkirakan akan memberikan Return on Investment (ROI) sebesar 30-40% pada Tahun 2005. Sasaran yang ingin mereka capai adalah penghematan:
  • 580 juta US$ dari pengurangan penggunaan energi
  • 1,3 milyar US$ dari pengurangan limbah
  • 96 juta US$ dari pengurangan insiden keselamatan kerja pada proses produksi
  • 50 juta US$ dari pengurangan tingkat insiden kecelakaan dan sakit
  • 34 juta US$ dari pengurangaan biaya gangguan, kerusakan fasilitas, atau pembersihan tumpahan
  • 14 US$ juta dari pengurangan kecelakaan kendaraan bermotor
Total seluruh penghematan adalah 1,8 milyar US$, atau setara dengan 1% pendapatan selama sepuluh tahun.

DuPont Agricultural (DA) juga memiliki tindakan proaktif dengan visi jauh ke depan. DA adalah penghasil bahan kimia pelindung tanaman. Mereka mengembangkan produk baru secara cukup radikal. Herbisida baru hasil temuan DuPont ini akan mampu memberikan penghematan luar biasa. Dosis yang diperlukan hanya seperseratus sampai sepersepuluh dari herbisida konvensional. Penghematan ini selain menurunkan biaya juga akan memberikan dampak lain. Kemasan herbisida menjadi lebih kecil sehingga kuantitas limbah kemasan juga akan berkurang.

Monsanto Corporation memberikan respons proaktif terhadap lingkungan. Monsanto telah memposisikan dirinya sebagai perusahaan yang berbasis pada sustainable development . Untuk mewujudkannya mereka memiliki tim yang disebut sebagai seven sustainability teams. Tim ini terdiri atas:
  1. The Eco-efficiency Team
  2. The Full Cost Accounting Team
  3. The Index Team
  4. The New Business/New Product Team
  5. The Water Team
  6. The Global hunger Team
  7. The Communication and Education Team
Terlihat betapa tingginya komitmen monsanto terhadap lingkungan.

04. FAKTOR PENGHAMBAT
Setelah membahas tentang respons perusahaan kita akan memasuki bagian yang lebih bersifat manajemen, yaitu faktor penghambat dan faktor penentu keberhasilan program Cleaner Production. Kita akan mulai dengan faktor penghambat.

Faktor penghambat dapat berasal dari luar maupun dari dalam perusahaan. Faktor penghambat eksternal umumnya timbul akibat rendahnya penegakan regulasi lingkungan, terlalu ketatnya regulasi lingkungan, rendahnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, dan rendahnya insentif lingkungan.

Sedangkan faktor penghambat internal meliputi sikap sulit menerima perubahan, faktor teknis, faktor finansial, dan faktor kultur perusahaan.

Sulit Menerima Perubahan. Faktor ini paling sering muncul untuk menjadi penghambat dalam perapan Produksi Bersih, jauh di atas faktor finansial dan teknologi. Berdasarkan suatu studi, ada beberapa sikap dan pernyataan yang sering menjadi penghambat, yaitu:
  • Saya selau melakukannya dengan cara ini. …… Saya telah menggunakan pelarut ini selama lebih dari 30 tahun.
  • Bila sistem tidak rusak, tidak perlu diperbaiki.
  • Misi kami sangat penting, issue lingkungan harus ditempatkan di belakang.
  • Kami telah melakukan semua yang bisa dilakukan.
  • Itu akan membuat pekerjaan saya menjadi lebih sulit.
  • Kita harus mengorbankan kinerja kualitas.


4.1 FAKTOR TEKNIS
Hambatan faktor teknis merupakan hambatan yang relatif paling ringan dibandingkan dengan kedua hambatan diatas. Umumnya hambatan ini karena kurangnya informasi teknis tentang produksi bersih. Sekali manajemen dankaryawan telah memiliki informasi tentang teknik Produksi Bersih, maka program akan sangat mudah dijalankan di perusahaan. Kajian literatur, aliansi dengan pihak yang pernah melakukan program Produksi Bersih, pelatihan karyawan, dan penggunaan konsultan akan mampu menghilangkan hambatan teknis ini.

4.2 FAKTOR FINANSIAL
Kesulitan finansial pada dasarnya bukan merupakan faktor penghalang yang cukup kuat. Permasalahan finansial berkaitan dengan Produksi Bersih umumnya hanya dijumpai pada perusahaan berskala kecil. Pada perusahaan skala menengah sampai besar, permasalahan ini nyaris tidak ada. Permasalahnya lebih terletak pada bagaimana meyakinkan investor atau pengambil keputusan untuk berinvestasi pada program Produksi Bersih.

Produksi Bersih bukan merupakan cost center. Produksi Bersih adalah bagian dari investasi bisnis yang mampu memberikan keuntungan dan penghematan. Sama seperti investasi lain, Produksi Bersih juga memiliki berbagai ukuran pencapaian program yang dapat dinyatakan dalam ukuran-ukuran ekonomi biasa, seperti break event point (BEP), internal rate of return (IRR), return on investment (ROI), maupun berbagai manfaat yang kurang nyata (less tangible). Proposal yang baik akan menguraikan seluruh ukuran-ukuran kinerja ini dan itu akan mempermudah investor dan pengambil keputusan untuk membiayai program. Proposal yang baik akan menghilangkan faktor finansial sebagai hambatan. Namun bila hal sebaliknya terjadi, maka faktor finansial akan menjadi hambatan yang cukup besar. Dengan kata lain perbaikilah proposal anda.

4.3 KULTUR PERUSAHAAN
Kadangkala walaupun semua hambatan di atas dapat dilalui, masih saja program tidak berjalan dengan baik. Permasalahannya, pergeseran paradigma dari end-of-pipe ke up-the-pipe memerlukan perubahan. Banyak terjadi bahwa kultur perusahaan tidak siap menerima perubahan ini.

05. FAKTOR KUNCI
Setelah mengeliminasi seluruh faktor penghambat di atas, perusahaan perlu pula mengembangkan faktor-faktor kunci keberhasilan penerapan Cleaner Production. Faktor kunci ini meliputi:
  1. Komitmen manajemen puncak
  2. Analisis Stakeholder
  3. Keterlibatan karyawan
  4. Komunikasi (Pengembangan kepedulian, Berbicara dalam bahasa yang sama)
  5. Pengukuran kinerja
5.1 KOMITMEN MANAJEMEN PUNCAK
Barangkali ini adalah faktor terpenting dalam memulai keberhasilan program Cleaner Production. Komitmen dan Dukungan yang jelas dan kuat dari manajemen puncak sangat diperlukan agar konsep produksi bersih dapat diterima di seluruh lapisan organisasi. Komitmen ini perlu disebarluaskan secara jelas, termasuk: pernyataan formal kebijaksanaan produksi bersih, tujuan yang hendak dicapai, penetapan tanggung jawab, penetapan sumberdaya, dan pemantauan kinerja.  Ketika 3M melakukan program 3P (pollution prevention pays), pihak manajemen puncak, secara eksplisit, menyatakan bahwa 3P adalah bagian tidak terpisahkan dari bisnis yang dijalankan 3M. Mereka juga menyebarluaskan strategi konkrit yang harus dijalankan oleh seluruh lapisan organisasinya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Du Pont yang bahkan membentuk sebuah struktur baru yang mengelola lingkungan pada tingkat Vice President. Yang lebih menarik dari Du Pont adalah pernyataan CEO mereka yang menyatakan bahwa CEO bukan sekedar Chief Executive Officer tetapi juga Chief Environmental Officer.

Hal yang senada ternyata juga dilakukan oleh perusahaan lain yang akan menerapkan Produksi Bersih. Komitmen manajemen puncak adalah awal segalanya, terlepas dari mana dimulainya inisiatif. Apakah inisiatif dimulai dari pihak manajemen ataupun inisiatif dimulai oleh karywan operasional, komitmen manajemen puncak mutlak diperlukan untuk menjalankan program Produksi Bersih. Penggabungan antara komitmen manajemen puncak dengan pendekatan bottom-up akan memberikan hasil yang efektif.
Komitmen manajemen puncak ini harus dinyatakan secara eksplisit, misalnya dengan diintegrasikan ke dalam visi dan misi perusahaan. Tujuh elemen eco-efficiency yang telah dikembangkan oleh World Business Council for Sustainable Development di bawah ini mungkin dapat dijadikan sebagai contoh dalam menetapkan visi, misi, dan strategi perusahaan.
  1. Mengurangi intensitas material dari produk dan jasa
  2. Mengurangi intensitas energi dari produk dan jasa
  3. Mengurangi sebaran zat beracun (toxic)
  4. Meningkatkan daya daur ulang material
  5. Memaksimalkan penggunaan berkelanjutan dari sumberdaya terbaharui
  6. Memperpanjang daya tahan produk
  7. Meningkatkan intensitas pelayanan dari produk dan jasa
5.2 ANALISIS STAKEHOLDER
Dalam berbisnis, kita tidak semata-mata berhubungan dengan pelanggan dan investor/pemegang saham. Namun, pada dasarnya setiap pihak akan sangat terkait dengan bisnis yang kita jalankan. Berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, pemerintah sebagai lembaga yang berkaitan dengan regulasi lingkungan akan sangat terkait dengan kita. Citra lingkungan perusahaan di mata masyarakat secara umum akan sangat mempengaruhi kinerja perusahaan. Pelanggan yang mulai peduli terhadap lingkungan dan cenderung memposisikan dirinya sebagai green consumer akan sangat memperhatikan kinerja lingkungan dari produk yang akan dibelinya. Beberapa tujuan ekspor seperti Masyarakat Eropa misalnya, telah menetapkan lingkungan sebagai non-tariff barrier, yang bila tidak dipenuhi akan sangat sulit bagi kita untuk menjual produk ke sana. Hal yang bisa diambil dari contoh-contoh di atas adalah bahwa bisnis akan sangat terkait dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan kualitas lingkungan. Lingkungan adalah tempat kita hidup. Sangat wajar bila semua pihak merasa berkepentingan dengannya. Bila bisnis ingin berjalan dengan baik, maka segala pihak yang terkait harus kita perhitungkan. Stakeholder yang terkait dengan bisnis misalnya, Pemerintah, Konsumen, Karyawan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Masyarakat Internasional, Pengecer, Distributor, Pemasok/Supplier, atau Kontraktor

5.3 KETERLIBATAN KARYAWAN
Sebuah program yang tidak didukung sepenuhnya oleh karyawan akan menjadi sia-sia belaka. Karyawan perlu diikutsertakan dan diberdayakan. Banyak sekali contoh-contoh bahwa program produksi bersih ternyata berawal dari hal-hal sederhana yang diusulkan oleh karyawan. Manajemen puncak perlu akomodatif dalam menerima usulan karyawan, sejauh itu mendukung komitmen perusahaan. Libatkanlah karyawan sejauh mungkin, maka mereka akan merasa menjadi bagian tak terpisahkan dari program Produksi Bersih. Salah satu upaya untuk melibatkan dan memberdaykan karyawan adalah melalui pelatihan. Setidaknya ada dua alasan penting mengapa karyawan perlu diberi pelatihan tentang produksi bersih, yaitu:
  1. Agar setiap karyawan dapat memberikan dampak positif bagi kebijaksanaan Produksi Bersih
  2. Agar setiap karyawan memiliki ide-ide untuk menerapkan Produksi Bersih
Pelatihan dapat diberikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhannya. Namun setidaknya ada empat jenis pelatihan yang dapat diberikan, yaitu:
  1. Pengenalan atau orientasi tentang Produksi Bersih. training ini lebih bertujuan untuk membentuk kepedulaian awareness dan lebih bersifat informatif dan mempromosikan Produksi Bersih. Training ini dapat dilakukan dalam waktu singkat antara dua sampai enam jam.
  2. Teknik-Teknik Produksi Bersih; Bertujuan untuk memperkenalkan dan mengenali teknik-teknik produksi bersih yang dapat diterapkan di perusahaan. Baik pada tingkat perusahaan maupun pada masing-masing bidang yang spesifik. Training ini juga bertujuan untuk menggali potensi yang ada di perusahaan dalam menerapkan Produksi Bersih.
  3. Assessment untuk Produksi Bersih; Training ini akan mempersiapkan peserta untuk mengenali berbagai kemungkinan penerapan produksi bersih di perusahaan. Training ini umumnya memakan waktu yang cukup lama.
  4. Pelatihan komprehensif/integratif; Training ini bertujuan untuk mempersiapkan orang untuk mengelola segala aspek Produksi Bersih, mulai tahap assessment, penerapan, sampai pada pengukuran kinerja program.


5.4 KOMUNIKASI
Kebijaksanaan produksi bersih perlu dikomunikasikan ke segenap lapisan organisasi. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan awareness tentang kebijaksanaan tersebut pada seluruh karyawan. Komunikasi ini akan sangat bermanfaat untuk:
  • Memotivasi karyawan
  • Menjelaskan kebijaksanaan Produksi Bersih dan bagaimana hubungannya dengan strategi bisnis secara keseluruhan
  • Menjamin dipahaminya peran-peran dan tujuan yang hendak dicapai
  • Menunjukkan adanya komitmen dari pihak manajemen
  • Memantau Kinerja
  • Mengenali potensi perbaikan sistem
Penciptaan dan Peningkatan iklim kepedulian/awareness sangat perlu dilakukan untuk mengubah kultur lama ke kultur Produksi Bersih.

5.5 PENGUKURAN KINERJA
Tolok ukur, sebuah kata ajaib yang membuat kita dapat membandingkan diri kita dengan sesuatu. Pengukuran kinerja membuat perusahaan mampu untuk memantau tingkat kesuksesan dan membandingkannya dengan kinerja masa lalu atau dengan pesaing lain. Pengukuran juga dapat menunjukkan bahwa sumberdaya yang tersedia telah ditempatkan secara sesuai serta dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi.
Ada suatu 'resep' yang cukup baik untuk membentuk suatu sistem pengukuran kinerja lingkungan. Resep ini disebut sebagai The Ten C's , yaitu:
  1. Cascading
  2. Commitment
  3. Comparison
  4. Comprehensible
  5. Comprehensive
  6. Continuous Improvement
  7. Controllable
  8. Cost
  9. Credibility
  10. Customer Focus
06. PENUTUP
Sebagai penutup ada sebuah kutipan yang cukup baik untuk direnungkan. The success of strategic environmental management depends, in great part, on a company's ability to integrate it into the business organization - a responsinsibility that rest with the environmental management team. To avoid the Green Wall, the environmental path must become one with the business path .
Integrasikanlah persepsi tentang limbah, respons terhadap stimulus lingkungan, eliminasi faktor penghambat, dan optimalisasi faktor kunci.

0 komentar:

Posting Komentar